Kamis, 21 Juni 2012

MAKALAH IJARAH

A.    PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
 Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas bisa memunculkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas diantaranya ;
1.    Apa yang dimaksud dengan Ijarah?
2.    Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
3.    Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijarah?

3.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Sebagai tugas Fiqih Muamalah iqtishodiyah.
2.    Untuk mengetahui bagaimana pengertian Ijarah.
3.    Untuk mengetahui Rukun dan syarat-syarat Ijarah.
4.    Untuk mengetahui dasar hukum Ijarah.
5.    Dan lain hal mengenai Ijarah.

B.    PEMBAHASAN
1.    Pengertian Ijarah
Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata Al ajru yang diartikan sebagai Al 'Iwadhu yang mempunyai arti ”ganti”, al-kira`, yang mempunyai arti ”bersamaan” dan  al-ujrah yang memiliki arti ”upah”.
Menurut etimologi, ijarah adalah menjual manfaat. Ijarah menurut terminologi adalah transaksi untuk mengambil kemanfaatan yang diperbolehkan dari barang yang telah ditentukan dalam jangka waktu yang diketahui atau transaksi jasa yang diketahui dengan alat tukar yang diketahui pula.
Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1.    Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.
2.    Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.
3.    Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4.    Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.

2.    Rukun & Syarat Ijarah
Rukun Ijarah
1.    Mu’jir(orang/barang yang disewa).
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan atau mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu.
2.    Musta’jir (orang yang menyewa).
Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu  atau musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya, atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.
3.    Objek transaksi (manfaat)
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya.
4.     Sighat (ijab dan qabul).
Sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan ijarah.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasa. Sedangkan Qabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.
5.     Imbalan atau Upah.
Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.


Syarat Ijarah
1.    Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2.    Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3.    Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4.    Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5.    Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6.    Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.


3.    Dasar Hukum Ijarah
1.    Al-Qur’an
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.

Kebolehan  transaksi  ijarah  didasarkan  Al Qur’an
QS. Az-Zukhruf : 32


“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Ayat ke 32 surat Az Zukhruf ini didahului dengan kisah Nabi Ibrahim a.s, bahwa ia berlepas diri dari apa yang dilakukan ayahnya dan kaumnya yang mempraktikan kemusyrikan dengan  menyembah berhala meskipun Nabi Ibrahim a.s telah memberikan kabar peringatan kepada mereka. Namun demikian Allah tidak  tetap memberikan nikmat kehidupan hingga kepada keturunan mereka, hingga datang  rasul terakhir yang membawa Al Qur’an yaitu Rasulullah Muhammad saw. Dan ketika kebenaran itu datang mereka tetap mengingkarinya dan berkata bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah saw tidak lain adalah sihir, dan dengan menantang mereka berkata mengapa pula Al-Quran diturunkan pada  Muhammad saw yang mereka anggap biasa saja, alih-alih pembesar penting yang memiliki banyak materi dari negeri  Mekah atau Thaif. Atas perkataan mereka Allah menyanggah siapakah hakekat mereka hingga dengan lancangnya  mereka mengatakan amanah dan tanggung jawab ini dan itu lebih pantas diserahkan kepada si  fulan ini atau si fulan itu.
Kemudian Allah menerangkan bahwa Allah telah membedakan hambaNya berkenaan dengan harta kekayaan, rezeki, akal, pemahaman, dan sebaginya yang merupakan kekuatan lahir dan batin, agar satu sama lain saling menggunakan potensinya dalam beramal, karena yang ini membutuhkan yang itu dan yang itu membutuhkan yang ini. Kemudian Allah menutup ayat  dengan menegaskan bahwa apa-apa yang dirahmatkan Allah kepada para Hamba-Nya adalah  lebih baik bagi mereka dari pada apa-apa yang tergenggam dalam tangan mereka berupa pekerjaan-pekerjaan dan kesenangan hidup duniawi.
Ayat ini pun dijadikan dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain adalah suatu keniscayaan kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi yang beraneka ragam agar mereka saling bermuamalah.


QS. Al-Kahfi: 77


”Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)
Surat Al kahfi menceritakan tentang Musa dan sahabatnya Khidir, keduanya berkelana setelah sebelumnya mencapai kesepakatan untuk bersahabat. Khidir mensyaratkan agar Musa jang memulai menanyakan sesuatu yang ganjil baginya, sebelum Khidir menerangkan dan menjelaskannya., setelah dua kali perjalanan  mereka sampai pada negeri Elia atau Li’ama atau Bakhla, namun penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka.  Di negeri itu pula mereka mendapati ada sebuah rumah yang hampir roboh. Lalu Khidir menegakkannya kembali. Musa kemudian mengatakan kepada Khidir untuk meminta upah kepada penduduk negeri atas perbuataanya telah menegakkan rumah tersebut, apalagi setelah penduduk negeri itu  sama sekali tidak menjamu mereka.

Ayat ini dapat dijadikan rujukkan bahwa manusia dapat meminta upah atas pekerjaan yang telah dilakukan.

2.    As-Sunnah
Hadist Rasulullah SAW:
a.    Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammadsaw. Bersabda :
Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
b.    Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
c.    Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
d.    Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

3.    Ijma
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
Kaidah fiqh:
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

4.    Perbedaan Ijarah dan Wadi’ah
Menurut  bahasa wadi’ah adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.
Jelaslah perbedaan antara Ijarah dan Wadi’ah, dimana Ijarah adalah sebuah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Dimana jika kita kaitkan antara Wadi’ah dan ijarah, seseorang tidak akan mendapatkan upah jika tidak ada orang lain yang memberikan sebuah amanah atau kepercayaan, baik itu dalam bentuk barang maupun jasa.

5.    Hikmah  Ijarah
Hikmah disyari’ahkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Tujuan dibolehkannya ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun, itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:
1.    Membina ketentraman dan kebahagiaan.
Dengan adanya ijarah, akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan musta’jir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi, maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah SWT.
Dengan transaksi ijarah, dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
2.    Memenuhi nafkah keluarga.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputu istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir, maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi.
3.    Memenuhi hajat hidup masyarakat.
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarakat, baik yang ikut bekerja, maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4.    Menolak kemungkaran.
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran besar akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya, hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.


C.    PENUTUP

1.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
a.    Ijarah ialah, pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah, serta tanpa adanya kepemindahan kepemilikan.
b.    Rukun ijarah ada 5, yaitu:
1.    Mu’jir (orang/barang yang disewa).
2.    Musta’jir (orang yang menyewa).
3.    Objek transaksi (manfaat).
4.    Sighat (ijab dan qabul).
5.    Imbalan atau upah.

Syarat ijarah ada 6, yaitu:
1.    Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2.    Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3.    Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4.    Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5.    Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6.    Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

c.    Yang menjadi dasar hukum Ijarah ada 3:
•    Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an khususnya didalam surat Az-Zukhruf: 32. Menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
•    As- Sunnah
Dalam salah satu hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.
Hadits diatas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang dipekerjakan, yaitu nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau selesai dilakukan. Dalam hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi ijarah.

•    Ijma.
Mengenai kebolehan ijarah, para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.


2.    Saran-saran
Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan Ijarah, terutama dalam pelaksanaanya harus berdasarkan pada aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh Allah swt di dalam Al-Qur’an, serta berdasarkan pada Sunnah-sunnah nabi dan ijma. Agar kita semua terhindar dari hal-hal yang di larang dalam syari’ah islam.











Selasa, 22 Mei 2012

Makalah Pemikiran Kalam Mu'tazilah dan Syi'ah


BAB  1
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Pemikiran kalam belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dan dianalisa.
Dalam islam sebenarnya terdapat lebih dari satu pemikiran-pemikiran kalam. Namun yang akan dibahas pada makalah ini adalah Pemikiran Kalam aliran Al-mu’tazilah dan Syi’ah.

2.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas bisa menimbulkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas, yaitu:
1.      Bagaimanakah pemikiraan kalam Al-Mu’tazilah?
2.      Bagaimanakah pemikiran kalam Syi’ah?

3.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui bagaimana pemikiran kalam Al-mu’tazilah.
2.      Untuk mengetahui bagaimana pemikiran kalam Syi’ah.


4.      Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Agar kita lebih memahami tentang pemikiran kalam Al-mu’tazilah dan Syi’ah.
2.      Dapat membantu dalam membangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahkluk Tuhan.
3.      Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.

5.      Penegasan Istilah
a.       Pemikiran adalah sebuah proses yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.
b.      Kalam secara bahasa adalah setiap lafadz yang digunakan untuk suatu makna (baik berupa kata atau kalimat). Secara istilah kalam, adalah kalimat, yaitu lafadz yang mengandung faedah.
c.       Mu’tazilah adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’ad ‘ani al- syai-i : menjauhi sesuatu.
Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir dinasti umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas dalam memahami aqidah Islam (al-Aqidah al-Islamiyyah).
d.      Syi’ah dari segi bahasa berarti pengikut, kelompok, atau golongan. Dari segi terminologi berarti satu faham dalam islam yang menyakini bahwa khalifah ke-empat dari Khulafahur Rasyidin adalah khalifah Ali bin Abi Thalib dan keturunanya adalah imam – imam atau para pimpinan agama dan umat setelah Nabi Muhamad SAW.

BAB  II
PEMBAHASAN
A.     Pemikiran Kalam Al-Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1.      Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2.      Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya, ”Al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Ke 20 sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain 20 sub sekte tersebut masih ada lagi 2 sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: Al-khabithiyah dan Al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari 20 sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
a.       Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
b.       Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
c.       Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
d.      Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta perilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
e.       Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
f.         Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: Al-Tauhid, Al-Adlu (keadilan Allah), Al-wa’id wal wa’id (janji dan ancaman Allah), Al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, Amal Ma’ruf Nahi munkar. Berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:
a.       Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu  menentang  kekuasaan-Nya  serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasan sifat-sifat (yang menyerupai manusia), dan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasan Allah memiliki sifat kalam.
b.      Al-Adlu (keadilan Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.
c.       Al-Wa’du wal Wa’id (Janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan tuhan atas perbuatannya. Disinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya.
d.       Al-manzilah bainal manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Yang dimaksud tempat diantara dua tempat adalah tempat bagi orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar, tetapi tidak musyrik. Nanti akan ditempatkan disuatu tempat diantara surga dan neraka.

e.        Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Mereka menetapkan bahwa hal ini (Amar ma’ruf nahi mungkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam, penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat, dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teolagi nasionalitas. Teologi nasionalitas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama, kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiyah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua, Akal menunjukan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berpikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
Ketiga, Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan tuhan, yang membawa pada perkembangn islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan XIII M.
B.     Pemikiran Kalam Syi’ah
Mengenai latar belakang munculnya aliran Syi’ah, terdapat dua pendapat: Pertama menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali di sebut Khawarij.
Kaum Syi’ah memiliki lima pemikiran yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima pemikiran itu adalah :
1.      Al- Tauhid

Kaum Syi’ah  mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu ada, Maha Esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan  tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.


2.      Al-Adlu

Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan  perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.

3.      Al-Nubuwwah

Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutus sejumlah nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.

4.      Al-Imamah

Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.

5.      Al-Ma’ad

Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan  adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.






BAB  III
PENUTUP
1.      Analisa
Dari pembahasan diatas, penulis berkesimpulan bahwa penulis lebih setuju dengan pemikiran aliran Syi’ah. Salah satu pemikiran itu adalah dimana Syi’ah mempercayai adanya sifat-sifat Allah, sedangkan Al-Mu’tazilah memiliki pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali. Salah satu sifat Allah adalah Wahdaniyyah yaitu Esa atau tunggal. Hal ini sesuai dengan kalimat syahadat, “Asyhadu alaa ila ha illalllah” tiada Tuhan selain Allah. Sifat ini ditegaskan kembali didalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya: 22.
“Sekiranya ada dilangit dan dibumi tuhan-tuhan selain Allah, tentunya keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”
2.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
·        Pemikiran Al-Mu’tazilah adalah
1.      Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia
2.      Al-Adlu (keadilan Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka.
3.      Al-Wa’du wal Wa’id (Janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan tuhan atas perbuatannya. Disinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya.
4.      Al-manzilah bainal manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Yang dimaksud tempat diantara dua tempat adalah tempat bagi orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar, tetapi tidak musyrik. Nanti akan ditempatkan disuatu tempat diantara surga dan neraka.
5.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Mereka menetapkan bahwa hal ini (Amar ma’ruf nahi mungkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam, penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat, dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
·        Pemikiran kalam Syi’ah adalah:
a.       Al- Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha Esa, tunggal, tempat bergant seoran ung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada g pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.

b.      Al-Adlu
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.

c.       Al-Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.

d.      Al-Imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.

e.       Al-Ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.




3.      Saran
            Harapan saya kepada para pembaca agar mengamalkan setiap ilmu yang diperoleh agar ilmu tersebut tidak sia-sia.
Harapan saya kepada para pembaca khususnya bagi dosen pembimbing mata kuliah ini agar kiranya memperbaiki setiap kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja dalam uraian isi makalah ini.



















DAFTAR PUSTAKA

http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1919834-kalam-syi’ah/
http://jenongsendiri.wordpress.com/2011/06/10/teologi-mu’tazilah-dan-pemikirannya/
http://sevensweet.wordpress.com/2010/05/17/pemikiran-teologi-mu’tazilah/
Nasir, Sahilun A. Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,                         
            1996.
Nasution, Harun, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,      Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.