A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas bisa memunculkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas diantaranya ;
1. Apa yang dimaksud dengan Ijarah?
2. Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
3. Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijarah?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai tugas Fiqih Muamalah iqtishodiyah.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengertian Ijarah.
3. Untuk mengetahui Rukun dan syarat-syarat Ijarah.
4. Untuk mengetahui dasar hukum Ijarah.
5. Dan lain hal mengenai Ijarah.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijarah
Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata Al ajru yang diartikan sebagai Al 'Iwadhu yang mempunyai arti ”ganti”, al-kira`, yang mempunyai arti ”bersamaan” dan al-ujrah yang memiliki arti ”upah”.
Menurut etimologi, ijarah adalah menjual manfaat. Ijarah menurut terminologi adalah transaksi untuk mengambil kemanfaatan yang diperbolehkan dari barang yang telah ditentukan dalam jangka waktu yang diketahui atau transaksi jasa yang diketahui dengan alat tukar yang diketahui pula.
Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.
2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.
3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.
2. Rukun & Syarat Ijarah
Rukun Ijarah
1. Mu’jir(orang/barang yang disewa).
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan atau mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu.
2. Musta’jir (orang yang menyewa).
Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu atau musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya, atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.
3. Objek transaksi (manfaat)
Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya.
4. Sighat (ijab dan qabul).
Sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan ijarah.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasa. Sedangkan Qabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.
5. Imbalan atau Upah.
Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
Syarat Ijarah
1. Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2. Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4. Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5. Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6. Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
3. Dasar Hukum Ijarah
1. Al-Qur’an
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Kebolehan transaksi ijarah didasarkan Al Qur’an
QS. Az-Zukhruf : 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Ayat ke 32 surat Az Zukhruf ini didahului dengan kisah Nabi Ibrahim a.s, bahwa ia berlepas diri dari apa yang dilakukan ayahnya dan kaumnya yang mempraktikan kemusyrikan dengan menyembah berhala meskipun Nabi Ibrahim a.s telah memberikan kabar peringatan kepada mereka. Namun demikian Allah tidak tetap memberikan nikmat kehidupan hingga kepada keturunan mereka, hingga datang rasul terakhir yang membawa Al Qur’an yaitu Rasulullah Muhammad saw. Dan ketika kebenaran itu datang mereka tetap mengingkarinya dan berkata bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah saw tidak lain adalah sihir, dan dengan menantang mereka berkata mengapa pula Al-Quran diturunkan pada Muhammad saw yang mereka anggap biasa saja, alih-alih pembesar penting yang memiliki banyak materi dari negeri Mekah atau Thaif. Atas perkataan mereka Allah menyanggah siapakah hakekat mereka hingga dengan lancangnya mereka mengatakan amanah dan tanggung jawab ini dan itu lebih pantas diserahkan kepada si fulan ini atau si fulan itu.
Kemudian Allah menerangkan bahwa Allah telah membedakan hambaNya berkenaan dengan harta kekayaan, rezeki, akal, pemahaman, dan sebaginya yang merupakan kekuatan lahir dan batin, agar satu sama lain saling menggunakan potensinya dalam beramal, karena yang ini membutuhkan yang itu dan yang itu membutuhkan yang ini. Kemudian Allah menutup ayat dengan menegaskan bahwa apa-apa yang dirahmatkan Allah kepada para Hamba-Nya adalah lebih baik bagi mereka dari pada apa-apa yang tergenggam dalam tangan mereka berupa pekerjaan-pekerjaan dan kesenangan hidup duniawi.
Ayat ini pun dijadikan dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain adalah suatu keniscayaan kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi yang beraneka ragam agar mereka saling bermuamalah.
QS. Al-Kahfi: 77
”Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)
Surat Al kahfi menceritakan tentang Musa dan sahabatnya Khidir, keduanya berkelana setelah sebelumnya mencapai kesepakatan untuk bersahabat. Khidir mensyaratkan agar Musa jang memulai menanyakan sesuatu yang ganjil baginya, sebelum Khidir menerangkan dan menjelaskannya., setelah dua kali perjalanan mereka sampai pada negeri Elia atau Li’ama atau Bakhla, namun penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka. Di negeri itu pula mereka mendapati ada sebuah rumah yang hampir roboh. Lalu Khidir menegakkannya kembali. Musa kemudian mengatakan kepada Khidir untuk meminta upah kepada penduduk negeri atas perbuataanya telah menegakkan rumah tersebut, apalagi setelah penduduk negeri itu sama sekali tidak menjamu mereka.
Ayat ini dapat dijadikan rujukkan bahwa manusia dapat meminta upah atas pekerjaan yang telah dilakukan.
2. As-Sunnah
Hadist Rasulullah SAW:
a. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammadsaw. Bersabda :
Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
b. Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
c. Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
d. Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
3. Ijma
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa / Ijarah.
Kaidah fiqh:
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
4. Perbedaan Ijarah dan Wadi’ah
Menurut bahasa wadi’ah adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.
Jelaslah perbedaan antara Ijarah dan Wadi’ah, dimana Ijarah adalah sebuah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu. Dimana jika kita kaitkan antara Wadi’ah dan ijarah, seseorang tidak akan mendapatkan upah jika tidak ada orang lain yang memberikan sebuah amanah atau kepercayaan, baik itu dalam bentuk barang maupun jasa.
5. Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’ahkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Tujuan dibolehkannya ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun, itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:
1. Membina ketentraman dan kebahagiaan.
Dengan adanya ijarah, akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan musta’jir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi, maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah SWT.
Dengan transaksi ijarah, dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
2. Memenuhi nafkah keluarga.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputu istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir, maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi.
3. Memenuhi hajat hidup masyarakat.
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarakat, baik yang ikut bekerja, maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4. Menolak kemungkaran.
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran besar akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya, hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
a. Ijarah ialah, pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah, serta tanpa adanya kepemindahan kepemilikan.
b. Rukun ijarah ada 5, yaitu:
1. Mu’jir (orang/barang yang disewa).
2. Musta’jir (orang yang menyewa).
3. Objek transaksi (manfaat).
4. Sighat (ijab dan qabul).
5. Imbalan atau upah.
Syarat ijarah ada 6, yaitu:
1. Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
2. Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4. Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5. Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6. Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
c. Yang menjadi dasar hukum Ijarah ada 3:
• Al-Qur’an
Didalam Al-Qur’an khususnya didalam surat Az-Zukhruf: 32. Menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu antara satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
• As- Sunnah
Dalam salah satu hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang Artinya : “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.
Hadits diatas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang dipekerjakan, yaitu nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau selesai dilakukan. Dalam hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi ijarah.
• Ijma.
Mengenai kebolehan ijarah, para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
2. Saran-saran
Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan Ijarah, terutama dalam pelaksanaanya harus berdasarkan pada aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh Allah swt di dalam Al-Qur’an, serta berdasarkan pada Sunnah-sunnah nabi dan ijma. Agar kita semua terhindar dari hal-hal yang di larang dalam syari’ah islam.
Kamis, 21 Juni 2012
Selasa, 22 Mei 2012
Makalah Pemikiran Kalam Mu'tazilah dan Syi'ah
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Pemikiran kalam belum muncul di zaman
Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak
mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran
pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan
tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak
ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena
terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut
Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki
kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dan
dianalisa.
Dalam islam sebenarnya terdapat lebih
dari satu pemikiran-pemikiran kalam. Namun yang akan dibahas pada makalah ini
adalah Pemikiran Kalam aliran Al-mu’tazilah dan Syi’ah.
2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas bisa
menimbulkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas, yaitu:
1. Bagaimanakah
pemikiraan kalam Al-Mu’tazilah?
2. Bagaimanakah
pemikiran kalam Syi’ah?
3.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:
1. Untuk
mengetahui bagaimana pemikiran kalam Al-mu’tazilah.
2. Untuk
mengetahui bagaimana pemikiran kalam Syi’ah.
4.
Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah
ini adalah:
1. Agar
kita lebih memahami tentang pemikiran kalam Al-mu’tazilah dan Syi’ah.
2.
Dapat
membantu dalam membangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan
menyadari bahwa ia mahkluk
Tuhan.
3.
Dapat
memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.
5.
Penegasan
Istilah
a. Pemikiran adalah sebuah proses
yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan
sejumlah konsep dan pengertian.
b. Kalam
secara bahasa adalah setiap lafadz yang digunakan untuk suatu makna (baik
berupa kata atau kalimat). Secara istilah kalam, adalah kalimat,
yaitu lafadz yang mengandung faedah.
c. Mu’tazilah
adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata
ini diulang dalam Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti
sama yaitu al ibti’ad ‘ani al- syai-i : menjauhi sesuatu.
Mu’tazilah adalah
firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir dinasti
umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang pada
kekuatan rasionalitas dalam memahami aqidah Islam (al-Aqidah
al-Islamiyyah).
d. Syi’ah
dari segi bahasa berarti pengikut, kelompok, atau golongan. Dari segi
terminologi berarti satu faham dalam islam yang menyakini bahwa khalifah
ke-empat dari Khulafahur Rasyidin adalah khalifah Ali bin Abi Thalib dan
keturunanya adalah imam – imam atau para pimpinan agama dan umat setelah Nabi
Muhamad SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran
Kalam Al-Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk
pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan
pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan
yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar
dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham
yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya
sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar
dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka
yakini.
Disebutkan
dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah”
bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang
(mubtadi’), yaitu:
1. Pemikiran bahwa manusia punya
kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah
yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran
bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir,
melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan
kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan
pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai
sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan
keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh
sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi
melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte
memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran
pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya, ”Al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan
bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Ke 20 sub sekte ini disebutnya sebagai
Qodariyah Mahdhah. Selain 20
sub sekte tersebut masih ada lagi 2
sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah
melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: Al-khabithiyah dan Al-himariyyah. Namun, meskipun sudah
terbagi dalam lebih dari 20
sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran.
Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang
mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
a. Pemikiran
bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak
memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
b. Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah
dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat
“diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
c. Pemikiran
tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan
khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah
makhluk-Nya.
d. Pemikiran
bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta perilaku hewan. Keyakinan mereka
bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya
sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan
manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah
oleh sebagaian kaum muslimin.
e. Pemikiran
bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah
-mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka
disebut Mu’tazilah.
f.
Pemikiran bahwa
segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintahkan oleh Allah atau
dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili
identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran
Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal
rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte
Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul)
pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar
pemikiran tersebut adalah: Al-Tauhid,
Al-Adlu (keadilan Allah), Al-wa’id wal wa’id (janji dan
ancaman Allah), Al-manzilatu
baina ‘lmanzilataini, Amal Ma’ruf Nahi munkar. Berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:
a. Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan
(laisa kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku
pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka
menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan melihat Allah sebagai
konsekwensi dari penegasan sifat-sifat (yang menyerupai manusia), dan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebagai
konsekwensi dari penegasan Allah memiliki sifat kalam.
b. Al-Adlu (keadilan Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi
hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan
meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah
jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang
dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang
diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang
dilarang-Nya.
c. Al-Wa’du wal Wa’id (Janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang Mu’tazilah adalah untuk
membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan tuhan atas
perbuatannya. Disinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak
terlalu menjalankan kehidupannya.
d. Al-manzilah bainal manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Yang dimaksud tempat diantara dua tempat adalah tempat bagi orang-orang
yang fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar, tetapi
tidak musyrik. Nanti akan ditempatkan disuatu tempat diantara surga dan neraka.
e. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Mereka menetapkan bahwa hal ini (Amar ma’ruf nahi mungkar) adalah
kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam, penyampaian
hidayah bagi mereka yang tersesat, dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang.
Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka
dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal
adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah
bahwa mu’tazilah adalah pengusung teolagi nasionalitas. Teologi nasionalitas
yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama,
kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti
harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiyah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan
lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua, Akal
menunjukan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang
kuat, yaitu manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu
berdiri sendiri, mempunyai
kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berpikir secara mendalam.
Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di barat dikenal dengan
istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh
dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
Ketiga,
Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha
Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam
ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan
apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu,
danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi
rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi,
kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan
tuhan, yang membawa pada perkembangn islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga
sains, pada masa antara abad
ke VIII dan XIII M.
B.
Pemikiran
Kalam Syi’ah
Mengenai
latar belakang munculnya aliran Syi’ah, terdapat dua pendapat: Pertama menurut
Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian
tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut
Watt, Syi’ah bener-bener muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai
respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan
Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali di
sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali di sebut Khawarij.
Kaum
Syi’ah memiliki lima pemikiran yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima pemikiran
itu adalah :
1.
Al-
Tauhid
Kaum
Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu
ada, Maha Esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
2.
Al-Adlu
Kaum
Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan
perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang
berbuat zalim.
3.
Al-Nubuwwah
Kepercayaan
Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim
yang lain. Menurut mereka, Allah mengutus sejumlah nabi dan rasul ke muka bumi
untnk membimbing umat manusia.
4.
Al-Imamah
Menurut
Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia
pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan
mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
5.
Al-Ma’ad
Ma’ad
berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya
akan adanya hari akhirat, bahwa hari
akhirat itu pasti terjadi.
BAB III
PENUTUP
1.
Analisa
Dari pembahasan diatas, penulis berkesimpulan bahwa penulis lebih setuju
dengan pemikiran aliran Syi’ah. Salah satu pemikiran itu adalah dimana Syi’ah
mempercayai adanya sifat-sifat Allah, sedangkan
Al-Mu’tazilah memiliki
pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan
seluruh sifat azali. Salah satu sifat Allah adalah Wahdaniyyah yaitu Esa atau
tunggal. Hal ini sesuai dengan kalimat syahadat, “Asyhadu alaa ila ha
illalllah” tiada Tuhan selain Allah. Sifat ini ditegaskan kembali didalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya: 22.
“Sekiranya ada dilangit dan dibumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentunya keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Maha
Suci Allah yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”
2.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
·
Pemikiran Al-Mu’tazilah
adalah
1.
Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan
(laisa kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya
serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia
2.
Al-Adlu (keadilan
Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan
perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi
hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan
meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah
jadikan buat mereka.
3. Al-Wa’du wal Wa’id (Janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang Mu’tazilah adalah untuk
membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan tuhan atas
perbuatannya. Disinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak
terlalu menjalankan kehidupannya.
4.
Al-manzilah
bainal manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Yang dimaksud tempat diantara dua tempat adalah tempat bagi orang-orang
yang fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar, tetapi
tidak musyrik. Nanti akan ditempatkan disuatu tempat diantara surga dan neraka.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan
mencegah kemungkaran)
Mereka menetapkan bahwa hal ini (Amar ma’ruf nahi mungkar) adalah
kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam, penyampaian
hidayah bagi mereka yang tersesat, dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang.
Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka
dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
·
Pemikiran kalam Syi’ah
adalah:
a. Al- Tauhid
Kaum
Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha Esa, tunggal, tempat
bergant seoran ung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan
tidak ada g pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya
sifat-sifat Allah.
b. Al-Adlu
Kaum
Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan
perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena
ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
c. Al-Nubuwwah
Kepercayaan
Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim
yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka bumi
untnk membimbing umat manusia.
d. Al-Imamah
Menurut
Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia
pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan
mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
e. Al-Ma’ad
Ma’ad
berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya
akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
3.
Saran
Harapan saya kepada para pembaca
agar mengamalkan setiap ilmu yang diperoleh agar ilmu tersebut tidak sia-sia.
Harapan saya
kepada para pembaca khususnya bagi dosen pembimbing mata kuliah ini agar
kiranya memperbaiki setiap kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja dalam
uraian isi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1919834-kalam-syi’ah/
http://jenongsendiri.wordpress.com/2011/06/10/teologi-mu’tazilah-dan-pemikirannya/
http://sevensweet.wordpress.com/2010/05/17/pemikiran-teologi-mu’tazilah/
Nasir, Sahilun A.
Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Nasution,
Harun, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Langganan:
Postingan (Atom)