Kamis, 30 Mei 2013

Makalah Economic Value of Time



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam membicarakan ekonomi pada umumnya, dan ekonomi Islam pada khususnya, rasanya janggal jika tidak memulainya dengan membahas “uang”. Apalagi, jika pembahasan ekonomi ini terfokus pada masalah atau topik moneter dan fiskal. Dimana uang adalah alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sejak peradaban kuno mata uang logam sudah menjadi alat pembayaran biasa walaupun belum sesempurna sekarang.
Oleh karena itu, uang oleh sebagian penduduk dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Sebab uang dapat dijadikan alat pemenuhan kebutuhan manusia, alat pemudah aktivitas ekonomi. Dengan adanya uang yang berfungsi sebagai alat pembayaran akan memudahkan pertukaran barang, sehingga pekerjaan dijalankan lebih mudah. Kebutuhan muncul karena system barter ternyata banyak menimbulkan kesukaran. Orang tidak bebas memperjual belikan barang-barang yang mereka perlukan.
Perbedaan sistem ekonomi yang berlaku, akan memiliki pandangan yang berbeda tentang uang. Sistem ekonomi konvensional memiliki pandangan yang berbeda tentang uang dibandingkan dengan sistem ekonomi Islam. Keuangan merupakan hal yang penting dalam kehidupan ekonomi. Ekonomi adalah suatu aktivitas mengelola uang dan modal dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, masalah keuangan ini perlu mendapatkan perhatian secara serius.
Teori keuangan konvensional mendasarkan argumennya dengan konsep time value of money. Sedangkan dalam ekonomi Islam dikenal dengan economic value of time. Islam tidak mengenal konsep time value of money yang artinya nilai uang untuk masa yang akan datang. Islam hanya mengenal economic value of time yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Hal ini menjelaskan mengapa Islam membolehkah deferred paymen pada barang dagangan, harga barang kredit lebih tinggi dari pada pada pembelian tunai. Bukanlah semata mata karena uang, akan tetapi lebih kepada waktu yang telah dialokasikan, menagih pembayaran menimbulkan biaya tersendiri.
B.       Rumusan Masalah.
Dari latar belakang diatas adapun hal yang akan dibahas dalam Makalah ini, yaitu: Bagaimanakah konsep Economic value of time?
C.      Tujuan Penulisan.
 Makalah ini bertujuan agar kita memahami lebih detail dan mendalam tentang economic value of time.



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Economic Value of Time
Teori economic value of time berkembang pada abad ke-7 masehi. Pada masa saat digunakannya emas dan perak sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai intrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan, sehingga hubungan debetur/kreditur yang muncul bukan kerena akibat transaksi secara lansung, namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”.
Economic value of time adalah sebuah konsep dimana waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukanlah uang memiliki nilai waktu. Economic value of time memiliki arti memaksimumkan nilai ekonomis suatu dana pada periodik waktu.
Dalam pandangan Islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan orang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunnya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa saja yang melaksanakan. Oleh karena itu, siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama, dan ras, secara sunatullah akan mendapatkan keuntungan di dunia.
Didalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah keuntungan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan efisien, namun harus juga didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat. Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia berarti keimanan yang tidak di amalkan. Dalam Al-Qur’an disebutkan nilai waktu, termasuk nilai ekonomi waktu ditentukan oleh keimanan, amal baik, saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan kesabaran. Firman Allah Q.S Al-Ashr :
وَالْعَصْرِ, إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ, إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
Terjemahnya:
Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Islam tidak mengenal konsep time value of money, Dasar perhitungan pada kontrak berbasis time value of money adalah bunga. Sedangkan Dasar perhitungan pada kontrak berbasis Economic value of time adalah nisbah. Economic value of time relatif lebih adil dalam perhitungan kontrak yang bersifat pembiayaan bagi hasil (profit sharing). Konsep  bagi hasil (profit sharing) berdampak pada tingkat nisbah yang menjadi perjanjian kontrak dua belah pihak.
Transaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi bagi hasil hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau penyewa dengan yang menyewakan. Dalam transaksi bagi hasil, yang ada adalah hubungan antara pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan kewajiban namun masih tertahan haknya. Shahibul maal telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan sejumlah modal, yang memproduktifkan (mudharib) juga telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi shahibul maal dan mudharib adalah berbagi hasil atas pendapatan atau keuntungan tersebut, sesuai kesepakatan awal apakah bagi hasil itu akan dilakukan atas pendapatan atau keuntungan.
Ajaran Islam medorong pemeluknya untuk selalu menginvestasikan tabungannya. Di samping itu, dalam melakukan investasi tidak menuntut secara pasti akan hasil yang akan datang. Hasil investsi dimasa yang akan datang sangat dipengaruhi beberapa  faktor, baik faktor yang dapat diprediksikan maupun tidak. Faktor-faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung sebelumnya adalah: berapa banyak modal, berapa nisbah yang disepakati, berapa kali modal dapat diputar. Sementara faktor efeknya tidak dapat dihitung secara pasti atau sesuai dengan kejadian return (perolehan usaha).
Berdasarkan hal di atas, maka dalam mekanisme investasi menurut Islam, persoalan nilai waktu uang (time value of money) yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak diterima (ditolak). Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti yang seiring dengan nilai dan jiwa Islam.
Hubungan formula tersebut dapat ditemukan formula investasi menurut pandangan Islam sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At Taubah ayat 34).
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman ayat 34).
Dari ayat di atas, sungguh sangat jelas bahwa kita tidak akan mengetahui apa-apa yang akan terjadi dihari esok. Oleh sebab itu, konsep time value of money di tolak dalam ekonomi Islam.
Hal ini juga di pertegas dalam sebuah hadis yang artinya: Rasulullah Saw bersabda. “Waktu itu seperti pedang, jika kita tidak bisa menggunakan dengan baik, maka ia akan memotong kita”.
Menurut Sayyid Qutb Waktu itu hidup. Namun, penghargaan Islam terhadap waktu itu tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu atau persentase bunga tetap.









BAB III
PENUTUP
1.        Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa, Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berbasis bagi hasil. Dalam ekonomi bagi hasil, maka yang digunakan untuk mekanisme ekonominya adalah nisbah bagi hasil dan return usaha yang terjadi secara riil. Inilah, maknanya ajaran islam yang menganjurkan menggunakan konsep Economic Value of Time. Artinya, waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukan uang memiliki nilai waktu.
faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunnya.
2.        Saran
Sebagai muslim, kita dituntut untuk menerapkan keislaman dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dari aspek ekonomi. Maka mempelajari ekonomi Islam adalah suatu keharusan, agar setiap kegiatan ekonomi yang kita lakukan tidak bertentangan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.


DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Surabaya : Al-Hidayah, 2002.



karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

karim, Adiwarman, Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
                                                                                                                                   


Resume Filsafat



Tugas Mata Kuliah
Filsafat Umum
Dewi Swarga
Hukum Ekonomi Syariah
Semester : IV

1)   FILSAFAT TENTANG TUHAN
Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) untuk mengetahui bahwa Allah benar-benar ada.
  • Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu bergerak, setiap gerakan pasti ada yang menggerakkan, namun pasti ada sesuatu yang menggerakkan sesuatu yang lain, namun tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain, Dialah Allah.
  •  Jalan 2 adalah sebab akibat, bahwa setiap akibat mempunyai sebabnya, namun ada penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah sebab pertaman, Allah.
  • Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa ada dan ada yang bisa tidak ada (contohnya adalah benda-benda yang dahulu ada ternyata ada yang musnah, namun ada juga yang dulu tidak ada ternyata sekarang ada), namun ada yang selalu ada (niscaya) Dialah Allah.
  •  Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melalui perbandingan, bahwa dari sifat-sifat yang ada di dunia ( yang baik-baik) ternyata ada yang paling baik yang tidak ada tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.
  • Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi mempunyai tujuan yang terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah ada yang mengaturnya, Dialah Allah.

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Ada dua hal yang bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah.
1.      Sebab akibat, bahwa dirinya sendiri (manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.
2.      Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus. Allah yang ada itu tidak mungkin berdiri sendiri. Maka Allah yang ada dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia ada dan dapat diandalkan.
Menurut Al-Gazali, Allah adalah zat yang Esa dan pencipta alam serta berperan aktif dalam mengendalikan alam. Menurut Gazali, karena maha kuasa dan berkehendak mutlak, Tuhan mampu mengubah segala ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak mutlak-Nya.
Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Adapun sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut
1.        Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2.        Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3.        Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4.        Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5.        Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6.        Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7.        Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8.        Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9.        Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10.    Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori:
1.      Esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]).
2.      Esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).

2)   FILSAFAT TENTANG MANUSIA
Menurut al-Farabi, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Menurut Plotinus, manusia sebagai makhluk bukanlah sebagai ciptaan Tuhan, tetapi pancaran Tuhan. Proses timbulnya makhluk, pertama yang muncul dari yang Esa disebut jiwa. Jiwa inilah yang menggerakan alam semesta. Kemudian dari jiwa timbul roh-roh, dari roh-roh menimbulkan materi-materi.

3)   FILSAFAT TENTANG ALAM
Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim.
Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya. Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.
Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-'adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.
Menurut Thales, asal mula, sifat dasar dan struktur komposisi alam semesta semua berasal dari air, dan semuanya kembali menjadi air. Bahwa bumi terletak di atas air, dan bumi merupakan bahan yang muncul dari air dan terapung diatasnya.
Menurut Empedocles, terdapat dua unsur yang mengatur perubahan-perubahan di alam semesta ini, yaitu Cinta dan Benci. Cinta mengatur ke arah penggabungan, benci mengatur ke arah perceraian atau perubahan. Proses penggabungan dan perceraian tersebut berlaku untuk melahirkan makhluk-makhluk hidup.